Kota Toea, Semangat Muda

Bosan dengan hiruk pikuk kota? Mari mundur dari keramaian kota dan menikmati keindahan masa lalu.

Perjalanan kali ini ditempuh menggunakan kereta Argo Parahyangan dari Bandung pukul 6.35. Kereta eksekutif ini menyediakan fasilitas pendingin ruangan dan colokan listrik di setiap kursi empuk penumpangnya. Sepertinya pantas hal ini didapatkan dengan membayar harga Rp 80.000,00.
Image
Salah satu alternatif transportasi umum menuju Jakarta yang hampir ditinggalkan masyarakat karena munculnya shuttle bus yang menawarkan paket perjalanan setiap jam sekali. Jadwal kereta memang kurang bersahabat, jam 5.30, 6.30, 12.00 lalu sore, kami yang ingin melancong ke daerah Kota Tua Jakarta terpaksa mengambil kereta pagi.

Transportasi yang disukai rekan saya karena mempunyai ruang gerak yang lebih lebar ini,memakan waktu 3 jam, sedikit lebih lama daripada shuttle bus. Tapi dia tetap lebih memilih kereta karena dia tidak perlu terjebak macet dan merasakan hentakan rem pengemudi shuttle bus (travel).

Lagu “Naik Kereta Api” tergiang-giang di kepalaku, sambil tersenyum dengan bangga kuperlihatkan keasrian alam Indonesia kepada kawanku. Kami melihat hamparan sawah hijau berundak-undak rapi. Bentangan perkebunan teh, sungai yang melebar di bawah jembatan besi dihiasi dengan batu-batu abu yang kekar. Sekumpulan pohon menjulang tinggi menghijau memberikan oksigen pada masyarakat pedesaan yang tinggal di rumah-rumah sederhana. Air terjun yang bersembunyi di dinding batu yang tinggi.

Tentu saja sesekali kami berhenti di beberapa stasiun kereta kecil, yang dihiasi oleh rumah non permanen dan hiruk pikuk anak-anak kecil berhamburan dari rumah-rumah itu. Indonesia, keindahan alam yang luar biasa dibarengi dengan ketidakmerataan ekonomi.

Pukul 9.35 sampailah kami di Stasiun Gambir, disambut dengan bangunan-bangunan tinggi aneka warna dan bentuk. Sesekali pepohonan hijau menghiasi kota super padat di Indonesia ini. Saya baru menyadari rel kereta berada di lantai dua, seperti sky train di negara tetangga. Kami berjalan menuruni tangga bergegas mencari teman kami yang sudah menunggu.

Sesampainya di pelataran parkir, kami melihat tugu Monas yang menjulang dipadati oleh wisatawan lokal. Kami menuju kawasan Kota Tua Jakarta. Rasa panas menyengat tubuh, keringat bercucuran menyapa kami saat memasuki Museum Fatahilah. Harga tiket masuk Rp 2.000,00 ditukar dengan segudang informasi dari zaman Indonesia purba, zaman kerajaan. Replika prasasti ada di tempat ini, perlengkapan kehidupan sehari-hari terutama alat makan, lampu, perabotan rumah berusia ratusan tahun terbuat dari bambu, rotan dan kayu terlihat usang dan rusak. Seharusnya dapat diperbaiki lalu dipajang lagi.

Sebuah lukisan tentang Raja Salomo memukau mata kami tergantung memanjang di lantai tiga museum ini. Di sini kami melihat banyak perabotan yang diimpor langsung dari luar negeri, sepertinya pernah dipakai oleh penjajah Belanda. Di salah satu pojok, lantai yang terbuat dari kayu ini terdapat lubang yang cukup besar. Teman kami yang iseng memasukkan sepatunya di lubang itu, cukup menyeramkan bila ada yang terluka karena hal ini.

Selesai bermandi keringat di dalam gedung yang dilengkapi dengan kipas angin, kami berjalan ke arah taman. Di sana terdapat patung Hermes, salah satu dewa Yunani konon pelindung pejalan kaki. Di belakang patung Hermes kami menemukan beberapa ruang kosong nan gelap yang berukuran kecil. Jendela satu-satunya ditutup teralis besi. Pintunya dibiarkan terbuka, bau apek dan suasana mencekam menyergap kami. Puluhan bola-bola meriam disimpan di tempat ini.

Kami heran mengapa mereka membuat ruangan ini sangat rendah, biasanya bangunan Belanda dibuat sangat tinggi (mencapai 3 meter) untuk alasan sirkulasi udara yang masuk. Muncul di pikiran kami, mungkin ruangan-ruangan ini adalah penjara, bola-bola batu besar ini mungkin saja borgol yang diikatkan pada kaki narapidana.

Sebelum kami berfantasi lebih jauh, kami memutuskan untuk meninggalkan museum itu. Kami berjalan ke Museum Wayang yang berjarak hanya beberapa meter dari Museum Fatahilah. Beberapa teguk minuman segar dan setelah iseng mencoba kacamata yang lucu, masuklah kami ke Museum Wayang.

Dengan harga tiket masuk yang sama, kami menemukan banyak perbedaan di sini. Pendingin udara yang terus dinyalakan membuat kami nyaman berada di sini. Kami disambut oleh Semar, wayang bertubuh gendut pendek, dengan senyumnya yang lebar. Konon, dia adalah dewa yang berparas tampan yang memilih untuk menggunakan wajah yang dapat dibilang kurang tampan untuk melihat kesungguhan hati orang-orang di sekitarnya. Apakah orang hanya berbuat baik terhadap orang tampan tanpa melihat kebaikan hatinya atau kebalikannya.

Kisah di balik perutnya yang buncit adalah ia menyanggupi permintaan raja yang bertaruh pada siapa saja yang berani memakan gunung boleh menggantikan posisi Raja. Semar menyanggupi permintaan itu dan dia memakan gunung, gunung yang dia makan tidak dapat dikeluarkan lagi, sehingga perutnya menjadi buncit. Raja yang kalah, kemudian menyerahkan kedudukannya kepada Semar.
Image
Puluhan wayang golek yang berasal dari Jawa Barat tersusun rapi di etalase kaca. Di setiap sekat dinding terdapat wayang seukuran manusia. Wayang ini dipengaruhi oleh cerita Hindu. Cerita romansa Rama Sinta dan cerita perang Baratayuda. Keluarga Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa berjejer berbaris rapi di sebelah kanan berhadapan dengan keluarga Kurawa yang berwajah menyeramkan.

Di salah satu ruangan terdengar video pemutaran wayang yang hanya dapat dinikmati untuk rombongan. Selesai menelusuri lorong penuh wayang golek, kami beristirahat di bangku panjang berdindingkan batu bata merah. Di depan kami terdapat tulisan Belanda mengenai Jendral terkenal bernama Coen. Sambil mengistirahatkan kaki, kami dihampiri oleh seorang Bapa yang membawa gunungan dan wayang kulit.

Dia mengenalkan dirinya sebagai wayang Master yang menghafal ratusan karakter wayang serta keturunan ketiga yang pembuat wayang kulit. Dia menyesalkan anaknya yang berumur 16 tahun lebih tertarik dengan PlayStation daripada kehidupan dalang.

Dia yang menceritakan taman ada di hadapan kami itu ternyata kuburan orang Belanda. Kuburan Coen dan jendral Belanda lainnya. Oops… Mungkin saya sudah menginjak kuburannya saat saya berfoto-foto. Bapa beranak tiga ini menjelaskan cara membuat wayang kulit. Mulai dari memilih kulit sapi dikeringkan selama sebulan, lalu disetrika. Kemudian dibuat pola dan ditusuk satu per satu selama 2 minggu dengan hati-hati. Bila ada satu pola yang salah, maka proses pengerjaan wayang kulit harus dimulai dari awal lagi.

Proses terakhir adalah dicat, semua bagian harus dicat satu per satu dan menunggu kering lalu ditambah lagi catnya. Tak heran harga wayang kulit selangit karena proses pembuatan hand made yang memakan waktu sebulan.

Pemilik nama lengkap Aldy Sanjaya ini menjelaskan Gunungan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi Tree of Life. Dalam gunungan ternyata terdapat banyak simbol yang mewakili arti tertentu, seperti berikut. Burung simbol dari harmoni, Monyet melambangkan kepintaran. Naga berarti keberuntungan, Macan berartikan ambisi. Kerbau merepresentasikan kekuatan dan terakhir kupu-kupu yang berarti pergerakan.

Di belakang gunungan yang terlihat indah dengan penjaga kehidupan dan semua binatang ini, terdapat monster seram yang berarti neraka. Gunungan dapat disimpan di rumah konon dapat mengusir hal-hal yang jahat serta mengundang kebaikan bagi pemilik rumah.

Wayang kulit semula adalah pertunjukkan yang dikhususkan untuk Raja dan para bangsawan. Tempat duduk untuk pria dan wanita dipisah. Pria dapat menonton wayang secara langsung, sedangkan wanita menonton bayangannya saja. Durasi pementasan wayang semula hampir semalam suntuk. Bila penonton sudah duduk di sana, mereka tidak boleh pulang, tapi harus menonton hingga acara selesai. Dengan alasan modernisasi, aturan-aturan ini sudah tidak lagi diberlakukan, durasi pementasan wayang pun dikurangi menjadi 6 jam saja.

Kami pun berjalan menyusuri lorong yang mengantarkan kami ke lantai dua, banyak wayang yang menarik hati. Dari wayang golek Belanda, pejuang 45, wayang Kristen tentang Adam dan Hawa, wayang Potehi (wayang dari Tiongkok). Ada juga pameran wayang dari negara lain, dari India, China, Perancis, Amerika. Bahkan keluarga Unyil dan Pa Raden ada di salah satu pojok ruangan ini.

Jadi teringat nasib Pa Raden yang sedang mencari keadilan untuk mendapatkan royalti untuk ide cerita si Unyil. Dipamerkan pula satu set degung gamelan yang merupakan instrumen dari permainan wayang.

Selesai tour di museum ini, kami bertemu Pak Aldy di pojok souvenir. Dia menawarkan produk wayang Rama Sinta juga Dewa Dewi Cinta. Perbedaan mereka hanyalah pada alas kakinya saja. Dewa/i memakai alas kaki sedangkan rakyat biasa bertelanjang kaki. Wayang golek pun tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran serta warna. Ada yang berguna sebagai dekorasi, kipas, pembatas buku, pensil, dll.

Kami berjalan menjauhi lapangan Fatahilah menuju tempat makan. Di tempat ini mereka menawarkan es potong seharga Rp 5.000,00 sangat menggiurkan di hari yang panas. Tapi sayang setelah menyantap nasi dan ikan bakar, perut kami terlalu kenyang untuk mencicip sepotong es krim.

Setelah mendapat energi, kami menawar sepeda ontel untuk mengelilingi Kota Tua Jakarta. Dengan Rp 25.000,00/orang kami mendapat sepeda sewaan, topi sewaan serta tour guide. Sang tour guide mengajak kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini dipakai untuk perdagangan hingga pada saat ini. Sayangnya, pelabuhan terlihat kotor dipenuhi sampah plastik.

Kami diperbolehkan menaiki satu perahu besar untuk berfoto kemudian mengayuh sepeda lagi menuju Museum Bahari. Selembar dua ribuan perlu disiapkan sebelum memasuki Museum ini. Gedung yang dipenuhi oleh semua gambar, diorama jenis perahu dari masa ke masa menggugah diriku untuk bermain ke laut. Lagu Aku Seorang Kapiten langsung terbersit di kepala saat aku melihat nakhoda yang kosong.

Kapal Phinisi merupakan kapal tersederhana yang pernah dibuat untuk mengarungi samudra, berbeda jauh dengan kapal-kapal buatan negara lain yang lebih canggih serta lebih kompleks. Nenek moyangku memang seorang pelaut, di gedung 2 lantai ini banyak koleksi kelautan bahkan lagu dan sajak tentang pelaut. Aku tertegun di salah satu gambar tentang bendera simbol-simbol pelaut, bagaimana pelaut membaca langit dan perbintangan untuk berlayar, merupakan keahlian yang membanggakan untuk menjadi salah satu dari Pelaut.

Beberapa maket kompleks bangunan Belanda ada di sini, sayangnya bangunan-bangunan tersebut sudah tidak ada lagi. Bangunan tempo dulu yang masih sampai sekarang terpakai salah satunya adalah gedung ini.  Rasa tidak nyaman menjalar melihat sisi samping dari gedung ini, juga sekaligus merupakan latar yang bagus untuk foto. Tour guide yang bersama kami mengatakan bahwa tempat ini pernah dijadikan tempat syuting film horor. Juga dipakai sebagai tempat foto prewedding.

Selesai mengagumi Museum Bahari, kami bersepeda ke sebuah Menara jaga yang berlantai delapan. Tidak terlalu banyak pengunjung di sana,yang terlihat hanyalah beberapa siswa SMA bersendau gurau. Kami menaiki tangga yang sudah reyot, sampai ke puncak. Di puncak menara, kami menikmati Batavia sambil memberanikan diri tidak menengok ke bawah, karena menara ini tidak mempunyai balkon serta pagar pengaman. Hembusan angin sore yang segar sebenarnya akan membuai kami untuk tetap berada di sini, bila kami punya cukup tempat untuk duduk bersamaan.

Kami melanjutkan olahraga sore ke Jembatan tertua yang sering dipakai Belanda sebelum mereka memberangkatkan perahu-perahu dagang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Menyenangkan berada di jembatan kokoh berusia ratusan tahun itu, hanya bau tak sedap dari sungai membuat kami beranjak dari tempat itu dan beralih ke tempat lain.

Objek wisata terakhir adalah Toko Merah yang dibiarkan kosong. Kami tidak diperbolehkan masuk dan hanya berdiri di depan tembok gedung ini saja. Kayuhan terakhir  menyampaikan kami ke depan Museum Fatahilah. Berbagai orang sedang menonton pertunjukkan di pelataran Museum. Tertarik dengan bunyi-bunyian gendang yang saya mainkan, ternyata mereka sedang melakukan debus.

Mereka membungkus seorang anak kecil dengan kain kafan lalu menyediakan api bakaran. Seorang lagi sibuk melecutkan tali pecutnya ke lantai, pemandangan yang mengerikan buat saya ini, membuat saya berkunjung ke salah satu toko oleh-oleh Kota Tua.

Kepanasan di kota tua, kami meluncur dari kemacetan menuju Ragusa, toko es krim yang terkenal. Berbagai rasa es krim, vanila, coklat, strawberry, rhum raisin, durian dan lemon masuk ke tenggorokan kami menyegarkan membangkitkan semangat kami untuk melanjutkan malam di kota Jakarta. Berada di kota Tua dan segala aktivitasnya membuat kami melupakan kesibukan dan hiruk pikuk kota besar ini.

Image

Tinggalkan komentar