Menyebrangi Jembatan Cinta

 

Pulau Tidung salah satu pulau 
yang paling diminati backpacker di Kepulauan Seribu. Pulau ini menawarkan relaksasi yang mudah diakses oleh warga Jabodetabek, karena lokasinya yang strategis. Banyak teman yang pernah kesana merekomendasikan tempat itu untukdikunjungi. Saya yang selalu ingin mencoba mencicip suasana baru dalam berpetualang bertemu seseorang yang juga ingin ke sana. Pertemuan yang tidak disengaja selalu menjadi pertemuan yang mengubahkan. Dia, Lucy dan temannya sedang mencari makan siang di salah satu food court di  Bandung. Saya pun menyapa mereka dan obrolan kami lanjutkan dengan rencana trip kami ke Tidung.

go biking


Kami menelepon beberapa homestay yang kami lihat di google karena kami pergi pada liburan Lebaran 2010. Setelah mengetahui kisaran harga di angka Rp 450.000,00 untuk 2 hari  malam, kami pun berpencar mencari teman lain untuk diajak.  Biaya tersebut sudah termasuk penginapan, makan, snorkeling, perahu PP dari muara angke, sepeda, BBQ.  Tentu saja akhirnya kami mendapat harga yang lebih murah setelah  berhasil mengumpulkan 4 teman lainnya. Kami pun menyetujui biaya Rp 480.000,00 untuk acara 3 hari 2 malem di sana.

Persoalannya sekarang, kami harus mencari travel dari Bandung ke Muara Angke. Ada seorang teman menyarankan naik travel dan angkot nomor 01 warna merah. Tapi kita harus berada di tempat saat matahari terbit, jadi kami memutuskan untuk menyewa mobil saja. Kami mencari mobil sewaan di 4848, Jalan Viaduct, dekat Braga Walk. Biaya charter Rp 550.000,00 sudah termasuk bensin dan dia akan menjemput di tempat yang disetujui pukul 2 dini hari.

Dini hari, kami 6 orang yang belum mengenal satu sama lain, berbagi tempat di minivan yang dikendarai oleh supir yang pengalamannya melebihi usia saya saat itu, 24 tahun. Bapak yang berasal dari Bangka Belitung, menasehati kami supaya mengisi perut sebelum naik kapal. Tipsnya sebagai anak pantai, “jangan makan telor karena akan membuatkami mabuk laut.”

Sesampainya di Muara Angke sekitar pukul 4.30, kita menonton buruh pasar tengah mengangkut kargo pesanan dari/untuk kebutuhan Pulau Seribu. Kulit yang terbakar sinar matahari dan otot yang kuat menunjukkan betapa kerasnya mereka sudah bekerja untuk keluarganya. Pemandangan yang lain, banyak wisatawan bertas punggung berlomba memasuki warung-warung nasi sederhana, rupanya mereka juga mendapat pesan yangsama sebelum naik kapal.

Matahari terbit dan perahu yang kami tumpangi belum juga datang, akhirnya  pukul 7.30 kami masuk perahu dan betapa kagetnya kami ternyata awak kapal menjejal banyak sekali wisatawan dengan barang bawaannya yang bejibun. Semoga perahu ini tidak tenggelam karena kelebihan muatan, pikirku. Di perahu, semua boleh duduk di mana saja. Perahu yang terdiri dari 2 lantai ini  tidak mempunyai tempat  duduk untuk penumpang. Dek bawah terlihat sumpek, ventilasi yang ada hanyalah dari jendela di tengah-tengah kapal. Di atas,  ada tempat cukup luas yang hanya ditutup  bahan bekas spanduk. Kami pun memilih untukduduk di atas, setidaknya kami dapat melihat pemandangan selama 2 jam kami berlayar.

starfishKemanapun mata memandang, kami lihat sekumpulan turis yang sedang bercakap-cakap dengan kawannya. Ada yang mulaitertidur, membaca, bernyanyi serta bermain gitar, makan bekal diiringi angin laut sepoi dari berbagai sisi. Tidur adalah pilihan terbaik menghabiskan waktu penyebrangan 2,5 menuju ke Pulau Tidung.  Sesampainya di pelabuhan Pulau Tidung, kami disambut oleh Pa Mohammad Yassir Arafat (tour leader) yang akrab kami panggil ‘presiden’. Tak hanya rombongan kami yang menginap di homestaynya, 4 pasang muda mudi dari Jakarta akan menjadi tetangga kami di liburan ini.

Homestay kami sebuah rumah ukuran 6×7 meter dengan kamar 3×3 meter serta satu kamar mandi serta ruanDSC02603g tamu dihiasi kipas angin dan televisi. Empat perempuan bergegas mengecek kelengkapan tempat tidur dan kamar mandi sedang 2 pria langsung mengecek siaran televisi. Tampaknya semua orang telah memilih tempat tidurnya. Tak lama berselang, istri Presiden membawakan kami santap siang, nasi dan lauk pauk yang cukup. Dengan lahap kami memakannya dan segera menaiki sepeda untuk mengelilingi pulau. Sinar matahari hari itu sangat terik, panas menyengat membuat kami kembali ke homestay. Presiden ternyata sedang menunggu kami untuk mengajak kami snorkeling. Mata kami berbinar dan segera bergegas mengambil baju ganti dan mengikutinya ke perahu yang sudah disediakan. Presiden tidak ikut bersama kami, tapi 8 ABG yang tinggal di sebelah homestay kami.

Perahu kami berhenti di perairan yang tenang, tidak terlalu dalam tapi jernih. Berbagai warna alat snorkeling dibariskan di depan kami. Kami boleh memilih yang cocok dan sesuai dengan kepribadian kami. Tentu saja teman saya memilih warna shocking pink dan yang pria memilih warna hijau terang. Apapun warnanya, bagi saya yang penting cukup nyaman. Kami pun disodorkan sepatu katak yang warna tidak kalah mentereng. Kami coba satu-satu dan bersiap mendengar instruksi dari tour guide kami. Sebagian besar dari kami adalah pemula, kami diajarkan untuk mengambil nafas dari mulut layaknya ikan dan berusaha tidak meminum air laut.

Snorkeling time! Semua tak sabar menceburkan diri dengan perlengkapan lengkap serta life vest, sehingga kami akan terombang ambing saat kami menikmati keindahan bawah laut. Air laut nan asin kerap kali masuk ke tenggorokanku, membuatku pening dan ingin muntah. Kucoba dan kucoba lagi sepertinya hari ini bukan hari yang terbaik untuk snorkeling. Fisikku tidak memungkinkan untuk melihat keindahan laut Kepulauan Seribu. Seorang awak kapal menuntunku ke perahu. Di sana aku berbaring tak berdaya, pusing kepala karena minum air laut dan ku jDSC02626atuh tertidur.

Beberapa temanku yang lain menyukai kegiatan ini, mereka berenang sampai ke perhentian-perhentian lainnya.Aku hanya duduk diam mengamati kesenangan mereka. Setelah aku merasa baikan, mereka kembali bergabung di perahu. Kami pun berlabuh di pulau yang sangat terkenal dengan jembatan cintanya. Banyak pemuda melompat dari jembatan dengan ketinggian 4 meter itu sambil menunggu sunset. Kami berjalan-jalan sambil mengeringkan baju dan pulang ke homestay.

Makan malam kali ini sangat istimewa karna kami mendapat bbq di bawah langit berbintang. Ikan laut bakar menggugahseleraku. Perutku yang hampir kosong, kuisi penuh dengan ikan bakar sambil melihat kembang api yang dipasang oleh penduduk sekitar. Kekenyangan, kami jalan sempoyongan ke homestay. Malam ini salah satu teman baruku terkena masuk angin. Untung ada teman yang mahir menolak angin dengan koin dan balsam, dia langsung membuka praktek kerokan. Kami ada dalam satu kesimpulan, kami terlalu letih dan tidak dalam kondisi yang fit untuk trip ini. Sebagian dari kami mengajukan untuk mengakhiri perjalanan ini.

Keesokan paginya,  kami berbicaradengan Pa Presiden, dia mau mengganti sisa uang kami yang tidak kami pakai untuk menginap satu malam lagi. Di sisa hari itu, kami berjalan ke cagar alam dan menunggu giliran kami untuk meloncat dari jembatan cinta yang terkenal. Hanya aku dan temanku yang berani melakukannya. Itu pun perlu perjuangan baginya untuk memberanikan diri untuk loncat. Dia akhirnya berhasil meloncat setelah semua penonton menyorakinya dan aku kedinginan menunggunya di bawah jembatan.

Kami bersiap dan mengucapkan salam perpisahan bagi Pa Presiden. Sebuah perahu telah menunggu kami, kali ini kami memilih untuk duduk di dek dekat kapten. Jumlah orang yang diangkut lebih banyak daripada yag dapat dimuat oleh perahu itu. Jumlah jaket keselamatan pun agaknya tidak mencukupi untuk semua penumpang. Kami duduk, tidur berdesak-desakan layaknya ikan sarden kalengan. Berkeringat, panas, tidak ada udara selama hampir 3 jam. Lega rasanya kami tiba di Muara Angke yang berbau amis tapi memberikan oksigen bercampur timbal angkutan umum yang saling berebut mencari penumpang. Kami akhirnya naik angkot berwarna merah no 1, lalubusway dan mencari rumah makan cepat saji sebelum naik travel pulang ke Bandung tercinta.

Sedih rasanya membaca artikel tentangTidung dimana pulau itu menjadi kotor karena banyaknya turis yang datang. Beberapa kawan dari kelompok pecinta alam mengajak saya untuk ikut serta dalam membersihkan pulau ini. Sayang sekali bila aset pariwisata tidak dapat dijaga karena kebiasaan buruk turisnya yang gemar membuang sampah sembarangan.

sunset